Senin, 11 November 2013

Untitled

Emang ya otak dan sikap itu berbanding lurus. Kalo orang yang terbiasa menggunakan otaknya, dalam bersikap pun dia mampu berpikir. Mana yang benar dan mana yang salah. Mana yang baik dan mana yang buruk.
Hati dan kelakuan pun juga demikian berbanding lurusnya. Orang yang dengan bijak menggunakan hatinya, tanpa berpikir pun ia mampu menentukan mana kelakuan yang benar dan mana yang salah. Mana yang baik dan mana yang buruk.

Otakku selalu menolak ketika aku disalahkan dalam kondisi aku tidak bersalah. Mungkin karena perasaan yang kesal dituduh bersalah.

Misalnya saja anak kecil yang dengan sok taunya bersikap menyebalkan di depan gang dekat kos waktu itu. Dengan nggak sopannya menyuruh turun dengan bentakan. Padahal aku sudah tau aturan itu karena memang sering lewat situ dan memang saat itu aku sedang berhenti karena bersiap turun. Aku jelas langsung mengomel dan menatap kejam pada anak itu hingga dia lapor ke orang tuanya. Trs knp?
Atau bapak-bapak tukang becak yang membelok tanpa mengerem, padahal di depannya ada aku yang jalan ke kos dan di depanku banyak anak SD berjalan baru pulang sekolah. Dan dengan seenaknya bapak itu malah mengomel karena kami berjalan nggak lihat becak di belakang. Memangnya aku dan anak-anak SD itu jalan sambil pegang spion? Aku jelas nggak terima, langsung mengomeli balik. Jelas-jelas kita jalan udah di pinggir, dia yang lewat langsung nyelonong gitu aja dan kita yang harus ngalah. Bahkan aku sempatkan mengomeli lagi ketika bapak itu berpapasan denganku ketika ia putar balik.
Atau mobil-mobil ber-plat nomor merah yang kebut-kebutan di jalan yang dengan seenaknya mengusir sepeda-sepeda yang lewat di depannya dengan menyalakan klakson. Aku yang nggak terima langsung menyalakan klakson balasan seperti yang mobil itu lakukan. Urusan apa yang membuat mobil plat merah itu segitu ngototnya lewat kebut-kebutan? Telat?
Atau orang yang tiba-tiba menyelat antrian kasirku tanpa permisi. Langsung saja aku keluarkan sindiran, dan orang itu cuma tersenyum kikuk tanpa menoleh lalu berlalu begitu saja.
Atau para penjual yang nggak ramah. Dan terkesan malas-malasan. Langsung aku tinggal dengan mengomel. Dia kurang paham dengan kalimat pembeli adalah raja. Meskipun kita juga harus bersikap sopan thdp penjual, tapi bukankah sikap itu akan mengalir begitu saja kalau si penjual juga bersikap demikian?
Atau penjual yang seenaknya melayani orang tidak sesuai dengan urutan kedatangan. Aku akan langsung protes menyampaikan siapa yang datang lebuh dulu.
Atau orang-orang di lampu merah yang sering membunyikan klakson padahal lampu belum hijau. Maksudnya apaan? Biar orang-orang yang paling depan ketabrak gitu karena melawan arus? Atau ketika lampu baru saja hijau orang-orang di belakang sudah ribut menyalakan klakson, tak bisakah mereka menunggu orang-orang di antrian paling depan untuk bersiap-siap?
Atau mengenai orang di lampu merah yang mesin motornya mendadak mati bertepatan lampu sudah hijau. Sering aku menjumpai yang seperti ini dan orang-orang di sekitarnya hanya menyalakan klakson dengan kesal. Sedangkan aku hanya bisa prihatin, bertanya-tanya pada diri sendiri bagaimana kalau orang-orang yang ribut mengklakson ada di posisi orang yang mesin motornya mati tiba-tiba. Orang yang mesinnya mati tiba-tiba itu jelas sudah panik, antara takut ketabrak dan ngerasa nggak enak.  Aku pun berjanji tidak akan mengklakson orang yang kesusahan seperti itu. Pernah sekali aku di posisi orang yang mesin motornya mati tiba-tiba. Dan dengan nggak punya hatinya orang dibelakangku mengklakson keras-keras, lalu menyenggol kasar tasku dengan spionnya, ditambah mengomel. Saat itu posisiku tidak menyetir, tapi duduk di boncengan mbak fia. Begitu mesin menyala, aku langsung menyuruh mbak fia ngebut menjajari sepeda yang dikendarai orang tak berhati di belakangku tadi. Ketika sudah sejajar, aku langsung membuka kaca helm, langsung marah-marah. Memangnya mesin mati mendadak itu mau kita? Kita juga takut ketabrak lah. Apa dia nggak mengenal apa itu toleransi dan peduli? Bapak itu cuma melirik sinis sambil (apa yaa bahasa indonesianya mbleyer" gitu?) Pokoknya itulah. Lalu dia langsung ngebut, padahal dia membonceng dua anak yang masih kecil dan istrinya menggendong bayi. Kok bisa ya memberi contoh buruk pada keluarganya kebut-kebutan di jalan dan memberi contoh agar bersikap kasar ketika ada orang yang kesusahan.
Atau pernah juga, aku hanya melihat karena kebetulan lewat. Waktu itu aku lagi jalan abis pulang kuliah. Ada bapak penjual balon yang sangat kesusahan mendorong sepeda ontelnya, dengan balon-balon besar-kecil bertumpuk-tumpuk. Ketika bapak itu melintasi gang, ada satu sepeda yang dinaiki 2 cewek berboncengan. Jelas mereka berpapasan, antara bapak-bapak yang kesusahan, dan sepeda yang dinaiki 2 cewek itu. Dan anehnya, 2 cewek itu bukannya maklum, malah dengan gampangnya mengumpat ke bapak itu "Jan*** ngebek-ngebek.i dalan ae c**" hah? Ini maksudnya apa? Mereka ini nggak lagi ngomong ke anak kecil, nggak juga ke anak seumuran, ini bapak-bapak tua lho, lah kok dipisuhi. Dan ini sering sekali aku lihat, orang-orang tidak saling kenal yang terhalangi jalannya ketika berpapasan di gang langsung pisuh-memisuh (istilah apaan ini) dengan raut marah.
Entahlah, sejak aku ngekos ini ada-ada saja hal-hal baru yang aku lihat. Masih banyaaaaak lagi yang lainnya. Tapi aku terlalu capek untuk mengetik. Dan setiap peristiwa yang aku ketik justru membangkitkan rasa kesalku. Sebenarnya alasan awal aku ngetik ini juga gara-gara lagi kesal banget sama bapak-bapak becak yang menyebalkan itu. Seenaknya sendiri seolah-olah dialah pemilik jalan di situ. -..-

Dalam hal-hal seperti ini aku sering kali lupa memisahkan antara otak dengan hati. Otakku yang tidak terima bahwa aku disalahkan padahal tidak bersalah. Dan hati nurani yang kadang menahan agar tidak marah-marah. Tapi otak selalu berkuasa, ia jalan lebih dulu. Baru setelah itu hati berperan dalam penyesalan, misalnya nggak sopan marah-marah ke bapak-bapak. Eh, tapi kalau dibiarkan, mentang-mentang bapak-bapak dia jadi bisa berbuat seenaknya dong?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar