Emang ya otak dan sikap itu
berbanding lurus. Kalo orang yang terbiasa menggunakan otaknya, dalam bersikap
pun dia mampu berpikir. Mana yang benar dan mana yang salah. Mana yang baik dan
mana yang buruk.
Hati dan kelakuan pun juga
demikian berbanding lurusnya. Orang yang dengan bijak menggunakan hatinya,
tanpa berpikir pun ia mampu menentukan mana kelakuan yang benar dan mana yang
salah. Mana yang baik dan mana yang buruk.
Otakku selalu menolak ketika
aku disalahkan dalam kondisi aku tidak bersalah. Mungkin karena perasaan yang
kesal dituduh bersalah.
Misalnya saja anak kecil yang
dengan sok taunya bersikap menyebalkan di depan gang dekat kos waktu itu.
Dengan nggak sopannya menyuruh turun dengan bentakan. Padahal aku sudah tau
aturan itu karena memang sering lewat situ dan memang saat itu aku sedang berhenti karena bersiap turun. Aku jelas
langsung mengomel dan menatap kejam pada anak itu hingga dia lapor ke orang tuanya. Trs knp?
Atau bapak-bapak tukang becak
yang membelok tanpa mengerem, padahal di depannya ada aku yang jalan ke kos dan
di depanku banyak anak SD berjalan baru pulang sekolah. Dan dengan seenaknya
bapak itu malah mengomel karena kami berjalan nggak lihat becak di belakang. Memangnya aku dan anak-anak SD itu jalan sambil
pegang spion? Aku jelas nggak terima, langsung mengomeli balik. Jelas-jelas
kita jalan udah di pinggir, dia yang lewat langsung nyelonong gitu aja dan kita
yang harus ngalah. Bahkan aku sempatkan mengomeli lagi ketika bapak itu
berpapasan denganku ketika ia putar balik.
Atau mobil-mobil ber-plat
nomor merah yang kebut-kebutan di jalan yang dengan seenaknya mengusir
sepeda-sepeda yang lewat di depannya dengan menyalakan klakson. Aku yang nggak
terima langsung menyalakan klakson balasan seperti yang mobil itu lakukan.
Urusan apa yang membuat mobil plat merah itu segitu ngototnya lewat kebut-kebutan? Telat?
Atau orang yang tiba-tiba
menyelat antrian kasirku tanpa permisi. Langsung saja aku keluarkan sindiran,
dan orang itu cuma tersenyum kikuk tanpa menoleh lalu berlalu begitu saja.
Atau para penjual yang nggak
ramah. Dan terkesan malas-malasan. Langsung aku tinggal dengan mengomel. Dia
kurang paham dengan kalimat pembeli adalah raja. Meskipun kita juga harus bersikap sopan thdp penjual, tapi bukankah sikap itu akan mengalir begitu saja kalau si penjual juga bersikap demikian?
Atau penjual yang seenaknya
melayani orang tidak sesuai dengan urutan kedatangan. Aku akan langsung
protes menyampaikan siapa yang datang lebuh dulu.
Atau orang-orang di lampu
merah yang sering membunyikan klakson padahal lampu belum hijau. Maksudnya
apaan? Biar orang-orang yang paling depan ketabrak gitu karena melawan arus?
Atau ketika lampu baru saja hijau orang-orang di belakang sudah ribut
menyalakan klakson, tak bisakah mereka menunggu orang-orang di antrian paling
depan untuk bersiap-siap?
Atau mengenai orang di lampu
merah yang mesin motornya mendadak mati bertepatan lampu sudah hijau. Sering
aku menjumpai yang seperti ini dan orang-orang di sekitarnya hanya menyalakan
klakson dengan kesal. Sedangkan aku hanya bisa prihatin, bertanya-tanya pada
diri sendiri bagaimana kalau orang-orang yang ribut mengklakson ada di posisi
orang yang mesin motornya mati tiba-tiba. Orang yang mesinnya mati tiba-tiba
itu jelas sudah panik, antara takut ketabrak dan ngerasa nggak enak. Aku pun berjanji tidak akan mengklakson orang
yang kesusahan seperti itu. Pernah sekali aku di posisi orang yang mesin
motornya mati tiba-tiba. Dan dengan nggak punya hatinya orang dibelakangku
mengklakson keras-keras, lalu menyenggol kasar tasku dengan spionnya, ditambah
mengomel. Saat itu posisiku tidak menyetir, tapi duduk di boncengan mbak fia.
Begitu mesin menyala, aku langsung menyuruh mbak fia ngebut menjajari sepeda yang dikendarai orang tak berhati di belakangku tadi. Ketika sudah sejajar, aku langsung membuka kaca helm,
langsung marah-marah. Memangnya mesin mati mendadak itu mau kita? Kita juga
takut ketabrak lah. Apa dia nggak mengenal apa itu toleransi dan peduli? Bapak itu cuma melirik sinis sambil (apa yaa bahasa
indonesianya mbleyer" gitu?) Pokoknya itulah. Lalu dia langsung ngebut,
padahal dia membonceng dua anak yang masih kecil dan istrinya menggendong bayi. Kok bisa ya
memberi contoh buruk pada keluarganya kebut-kebutan di jalan dan memberi contoh
agar bersikap kasar ketika ada orang yang kesusahan.
Atau pernah juga, aku hanya
melihat karena kebetulan lewat. Waktu itu aku lagi jalan abis pulang kuliah. Ada bapak penjual balon
yang sangat kesusahan mendorong sepeda ontelnya, dengan balon-balon besar-kecil
bertumpuk-tumpuk. Ketika bapak itu melintasi gang, ada satu sepeda yang dinaiki
2 cewek berboncengan. Jelas mereka berpapasan, antara bapak-bapak yang
kesusahan, dan sepeda yang dinaiki 2 cewek itu. Dan anehnya, 2 cewek itu
bukannya maklum, malah dengan gampangnya mengumpat ke bapak itu "Jan*** ngebek-ngebek.i
dalan ae c**" hah? Ini maksudnya apa? Mereka ini nggak lagi ngomong ke
anak kecil, nggak juga ke anak seumuran, ini bapak-bapak tua lho, lah kok
dipisuhi. Dan ini sering sekali aku lihat, orang-orang tidak saling kenal yang
terhalangi jalannya ketika berpapasan di gang langsung pisuh-memisuh (istilah
apaan ini) dengan raut marah.
Entahlah, sejak aku ngekos
ini ada-ada saja hal-hal baru yang aku lihat. Masih banyaaaaak lagi yang
lainnya. Tapi aku terlalu capek untuk mengetik. Dan setiap peristiwa yang aku
ketik justru membangkitkan rasa kesalku. Sebenarnya alasan awal aku ngetik ini
juga gara-gara lagi kesal banget sama bapak-bapak becak yang menyebalkan itu.
Seenaknya sendiri seolah-olah dialah pemilik jalan di situ. -..-
Dalam hal-hal seperti ini aku
sering kali lupa memisahkan antara otak dengan hati. Otakku yang tidak terima
bahwa aku disalahkan padahal tidak bersalah. Dan hati nurani yang kadang
menahan agar tidak marah-marah. Tapi otak selalu berkuasa, ia jalan lebih dulu.
Baru setelah itu hati berperan dalam penyesalan, misalnya nggak sopan
marah-marah ke bapak-bapak. Eh, tapi kalau dibiarkan, mentang-mentang bapak-bapak dia jadi bisa
berbuat seenaknya dong?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar