Minggu, 01 Desember 2013

Malam



Aku merasa malamku semakin singkat. Aku terlalu capek untuk menyadari bahwa tiba-tiba hari sudah kembali pagi. Pagi yang mengantarku beraktivitas lagi. Bahkan tidur siang yang menjadi hobiku saat di rumah sudah perlahan-lahan ku tinggalkan.
Melelahkan memang. Jam tidurku tak sebanding dengan rutinitas pagiku. Tapi, mana mungkin aku bisa meminta perpanjangan malam demi menambah tidurku?

Minggu, 17 November 2013

Tentang Waktu

  
Terkadang ada masa-masa dimana aku ingin melompati waktu. Entah itu detik, menit, jam, maupun hari. Berharap bisa menghindari waktu-waktu tertentu yang membuatku merasa tak nyaman. Berdoa agar waktu-waktu itu tak pernah ada.

Ada juga masa-masa dimana aku ingin menahan waktu. Memperlambat jalannya waktu. Merasakan detik demi detiknya lebih lama. Inilah waktu-waktu menyenangkan yang membuatku merasa betah berada di dalamnya.

Atau ada juga masa-masa dimana aku ingin kembali ke masa lalu, pada waktu yang sudah terlewati. Mengulang waktu-waktu tertentu yang membuatku merasa bahwa waktu-waktu itu sangat berharga.

Entahlah, waktu selalu saja begitu. Selalu membuatku bingung. Melaju begitu saja. Tanpa pernah memberiku kesempatan untuk memilih.
-pdp-

Rabu, 13 November 2013

Nenek di Bawah Pohon


Masih di tempat yang sama. Di bawah pohon.
Tak peduli tepat di kanan kirinya ada bangku kayu, lebih tinggi dan lebih bersih. Nenek itu selalu memilih duduk di bawah, diantara dua bangku kayu, tanpa sehelai kain pun sebagai alas, beratapkan daun dan ranting pohon.
Aku melihat si Nenek ketika masuk atau keluar kampus. Kalau sedang tidak terburu-buru, aku sempatkan menyapa si Nenek, "Mbah..." sambil tersenyum. Lalu Nenek akan membalas sapaanku dengan menganggukkan kepala dan berkata "ati-ati, nak" atau "pagi-pagi kok sudah berangkat, nak".
Atau saat pulang kuliah dan cuaca lagi panas-panasnya, si Nenek akan berkata "Kok nggak bawa payung, nak, panas, nak....." Dan tidak lupa selalu berkata "ati-ati, nak".
Atau saat langit lagi baik hati menurunkan gerimis, si Nenek akan berkata "Gerimis, nak. Kok nggak bawa payung..." Kemudian, seperti biasa berkata "ati-ati, nak".
Dialog antara aku dan Nenek memang selalu singkat seperti ini. Walapun begitu, kalau si Nenek nggak ada, mataku selalu mencari-cari sambil bertanya-tanya pada diri sendiri, "Kok Mbah nggak ada?" ; "Apa Mbah pindah tempat?" ; dan lain-lain.
Tiga semester aku mengamati Nenek. Tubuhnya kurus. Ada gurat-gurat lelah di wajahnya. Mungkin usianya sekitar tujuh puluhan. Dengan baju yang lusuh. Baju khas nenek-nenek Jawa. Mengingatkanku pada cara berpakaian Nenekku dari garis Ibu.
Aku selalu merasa iba saat melihat si Nenek. Duduk sendiri, melihat orang-orang yang lalu lalang di depannya. Tanpa orang-orang itu sadari kalau ada si Nenek yang duduk mengamati langkah kaki mereka. Jarang sekali orang-orang menyapa si Nenek atau sekedar menoleh. Tapi untungnya, terkadang ada Pak Satpam kampus yang menemaninya ngobrol dan aku turut senang untuk itu.
Aku nggak pernah tau darimana si Nenek berasal. Rumahnya dimana? Sebenarnya apa yang Nenek itu lakukan di situ? Kemana anak-cucu si Nenek? Kenapa anak-cucunya membiarkan si Nenek duduk di situ panas maupun hujan? Apa mereka nggak khawatir?

Iya, aku heran. Apa Nenek itu punya anak-cucu? Kalau punya, di usia-nya yang sudah rentah seperti sekarang, seharusnya Nenek hanya bersantai di rumah. Diperhatikan dan dilayani. Bukan seperti sekarang, kedinginan dan kepanasan.

Senin, 11 November 2013

Untitled

Emang ya otak dan sikap itu berbanding lurus. Kalo orang yang terbiasa menggunakan otaknya, dalam bersikap pun dia mampu berpikir. Mana yang benar dan mana yang salah. Mana yang baik dan mana yang buruk.
Hati dan kelakuan pun juga demikian berbanding lurusnya. Orang yang dengan bijak menggunakan hatinya, tanpa berpikir pun ia mampu menentukan mana kelakuan yang benar dan mana yang salah. Mana yang baik dan mana yang buruk.

Otakku selalu menolak ketika aku disalahkan dalam kondisi aku tidak bersalah. Mungkin karena perasaan yang kesal dituduh bersalah.

Misalnya saja anak kecil yang dengan sok taunya bersikap menyebalkan di depan gang dekat kos waktu itu. Dengan nggak sopannya menyuruh turun dengan bentakan. Padahal aku sudah tau aturan itu karena memang sering lewat situ dan memang saat itu aku sedang berhenti karena bersiap turun. Aku jelas langsung mengomel dan menatap kejam pada anak itu hingga dia lapor ke orang tuanya. Trs knp?
Atau bapak-bapak tukang becak yang membelok tanpa mengerem, padahal di depannya ada aku yang jalan ke kos dan di depanku banyak anak SD berjalan baru pulang sekolah. Dan dengan seenaknya bapak itu malah mengomel karena kami berjalan nggak lihat becak di belakang. Memangnya aku dan anak-anak SD itu jalan sambil pegang spion? Aku jelas nggak terima, langsung mengomeli balik. Jelas-jelas kita jalan udah di pinggir, dia yang lewat langsung nyelonong gitu aja dan kita yang harus ngalah. Bahkan aku sempatkan mengomeli lagi ketika bapak itu berpapasan denganku ketika ia putar balik.
Atau mobil-mobil ber-plat nomor merah yang kebut-kebutan di jalan yang dengan seenaknya mengusir sepeda-sepeda yang lewat di depannya dengan menyalakan klakson. Aku yang nggak terima langsung menyalakan klakson balasan seperti yang mobil itu lakukan. Urusan apa yang membuat mobil plat merah itu segitu ngototnya lewat kebut-kebutan? Telat?
Atau orang yang tiba-tiba menyelat antrian kasirku tanpa permisi. Langsung saja aku keluarkan sindiran, dan orang itu cuma tersenyum kikuk tanpa menoleh lalu berlalu begitu saja.
Atau para penjual yang nggak ramah. Dan terkesan malas-malasan. Langsung aku tinggal dengan mengomel. Dia kurang paham dengan kalimat pembeli adalah raja. Meskipun kita juga harus bersikap sopan thdp penjual, tapi bukankah sikap itu akan mengalir begitu saja kalau si penjual juga bersikap demikian?
Atau penjual yang seenaknya melayani orang tidak sesuai dengan urutan kedatangan. Aku akan langsung protes menyampaikan siapa yang datang lebuh dulu.
Atau orang-orang di lampu merah yang sering membunyikan klakson padahal lampu belum hijau. Maksudnya apaan? Biar orang-orang yang paling depan ketabrak gitu karena melawan arus? Atau ketika lampu baru saja hijau orang-orang di belakang sudah ribut menyalakan klakson, tak bisakah mereka menunggu orang-orang di antrian paling depan untuk bersiap-siap?
Atau mengenai orang di lampu merah yang mesin motornya mendadak mati bertepatan lampu sudah hijau. Sering aku menjumpai yang seperti ini dan orang-orang di sekitarnya hanya menyalakan klakson dengan kesal. Sedangkan aku hanya bisa prihatin, bertanya-tanya pada diri sendiri bagaimana kalau orang-orang yang ribut mengklakson ada di posisi orang yang mesin motornya mati tiba-tiba. Orang yang mesinnya mati tiba-tiba itu jelas sudah panik, antara takut ketabrak dan ngerasa nggak enak.  Aku pun berjanji tidak akan mengklakson orang yang kesusahan seperti itu. Pernah sekali aku di posisi orang yang mesin motornya mati tiba-tiba. Dan dengan nggak punya hatinya orang dibelakangku mengklakson keras-keras, lalu menyenggol kasar tasku dengan spionnya, ditambah mengomel. Saat itu posisiku tidak menyetir, tapi duduk di boncengan mbak fia. Begitu mesin menyala, aku langsung menyuruh mbak fia ngebut menjajari sepeda yang dikendarai orang tak berhati di belakangku tadi. Ketika sudah sejajar, aku langsung membuka kaca helm, langsung marah-marah. Memangnya mesin mati mendadak itu mau kita? Kita juga takut ketabrak lah. Apa dia nggak mengenal apa itu toleransi dan peduli? Bapak itu cuma melirik sinis sambil (apa yaa bahasa indonesianya mbleyer" gitu?) Pokoknya itulah. Lalu dia langsung ngebut, padahal dia membonceng dua anak yang masih kecil dan istrinya menggendong bayi. Kok bisa ya memberi contoh buruk pada keluarganya kebut-kebutan di jalan dan memberi contoh agar bersikap kasar ketika ada orang yang kesusahan.
Atau pernah juga, aku hanya melihat karena kebetulan lewat. Waktu itu aku lagi jalan abis pulang kuliah. Ada bapak penjual balon yang sangat kesusahan mendorong sepeda ontelnya, dengan balon-balon besar-kecil bertumpuk-tumpuk. Ketika bapak itu melintasi gang, ada satu sepeda yang dinaiki 2 cewek berboncengan. Jelas mereka berpapasan, antara bapak-bapak yang kesusahan, dan sepeda yang dinaiki 2 cewek itu. Dan anehnya, 2 cewek itu bukannya maklum, malah dengan gampangnya mengumpat ke bapak itu "Jan*** ngebek-ngebek.i dalan ae c**" hah? Ini maksudnya apa? Mereka ini nggak lagi ngomong ke anak kecil, nggak juga ke anak seumuran, ini bapak-bapak tua lho, lah kok dipisuhi. Dan ini sering sekali aku lihat, orang-orang tidak saling kenal yang terhalangi jalannya ketika berpapasan di gang langsung pisuh-memisuh (istilah apaan ini) dengan raut marah.
Entahlah, sejak aku ngekos ini ada-ada saja hal-hal baru yang aku lihat. Masih banyaaaaak lagi yang lainnya. Tapi aku terlalu capek untuk mengetik. Dan setiap peristiwa yang aku ketik justru membangkitkan rasa kesalku. Sebenarnya alasan awal aku ngetik ini juga gara-gara lagi kesal banget sama bapak-bapak becak yang menyebalkan itu. Seenaknya sendiri seolah-olah dialah pemilik jalan di situ. -..-

Dalam hal-hal seperti ini aku sering kali lupa memisahkan antara otak dengan hati. Otakku yang tidak terima bahwa aku disalahkan padahal tidak bersalah. Dan hati nurani yang kadang menahan agar tidak marah-marah. Tapi otak selalu berkuasa, ia jalan lebih dulu. Baru setelah itu hati berperan dalam penyesalan, misalnya nggak sopan marah-marah ke bapak-bapak. Eh, tapi kalau dibiarkan, mentang-mentang bapak-bapak dia jadi bisa berbuat seenaknya dong?

Senin, 22 April 2013

Jepang!

Typical Japanese House by TheJbot on Flickr.
Typical Japanese House
Mungkin efek dari suka banget sama film dan dorama-dorama Jepang, rasanya jadi pengen banget ke Jepang. Ditambah lagi dengan kartun-kartun Jepang yang semuanya bagus, mulai dari Chibi Maruko Chan yang udah gak tayang lagi, Sinchan yang nggak pernah tinggi, sampai ke Doraemon yang Nobitanya selalu kelas 3 SD. Selain itu, juga dengan baca novel Totto-Chan yang asalnya dari Jepang (salah satu novel favoritku), sampai novel Omiyage yang merupakan novel karangan orang Indonesia yang kuliah di Jepang, dua buku ini malah membuatku semakin terobsesi dengan Jepang.

Dari setiap film, dorama, dan novel yang menyangkut Jepang, dapat aku simpulkan bahwa Jepang sangat menarik. Orangnya sopan dan ramah. Kebiasaan-kebiasaan yang menakjubkan.  Makanan-makanan yang unik. Bunga Sakura nya. Bentuk rumah-rumahnya. Kuil nya. Dan masih banyaaak lagi yang melengkapi menariknya negara Jepang.

Kalimat yang aku kutip dari novel Omiyage:
Mungkin inilah ciri khas dari negara maju. semua orang punya urusan masing-masing. sementara di negara yang "masih berharap" untuk maju, kebanyakan isinya adalah orang-orang yang tidak punya urusan, tapi ingin tahu urusan orang lain.
Iya juga sih #lirik tetangga-tetangga.  

Bunga Sakura
Gunung Fuji
Kimono