Selasa, 13 Desember 2016

Lampu Lalu Lintas

Source: www.google.com

Ada lampu merah baru di GKB (ada tiga warna tentunya, tapi biar gampang dan udah kebiasaan jadi aku sebut lampu merah saja). Lampu merah baru itu nggak jauh dari rumah. Tapi bikin rumah jadi kerasa jauh. 

Padahal dulu selalu membatin kalau lewat perempatan itu, "Kok nggak dikasih lampu merah sih di sini", gara-gara pengguna jalan saling berebut untuk jalan duluan. Kalau ada yang mengalah sih Alhamdulillah. Nah, tapi kadang ada yang pasang muka galak kalo jalannya diserobot duluan. Malah aku pernah melihat ada yang sampai beradu mulut penuh emosi.

Anehnya, udah ada dua lokasi perempatan di GKB yang dipasang lampu merah. Dan dua-duanya, lampu hijau nyala barengan di setiap arah yang berlawanan. Jadi susah kalo salah satunya mau belok kanan, bakal berpapasan. Tapi setidaknya lampu merah cukup membantu karena bukan dari empat penjuru yang berpapasan.

Ya, yang penting sekarang lampu merah udah siaga di sana. Setiap pengemudi kendaraan mau nggak mau dipaksa mengalah. Sayangnya, seperti lampu merah di lokasi-lokasi lainnya, terkadang ada pengemudi yang menganggap lampu itu hanya hiasan mata. Nggak peduli. Dianggap nggak ada. Melaju tanpa menunggu warna lampu jadi hijau, mengesampingkan dampak terburuk yang bisa saja terjadi.

Lampu kuning? Ah, malah kebanyakan orang menganggap warna itu nggak ada. Seperti mitos yang cuma jadi kepercayaan. Dan yang percaya cuma anak-anak TK, bahwa lampu kuning artinya "siap-siap" sebelum warna lampu jadi hijau. Sayangnya nggak ada anak TK yang boleh nyetir kendaraan bermotor. Jadi pemahaman itu udah terbang terbawa angin ketika mereka mulai bisa mengendarai kendaraan bermotor. Dimenangkan oleh kebiasaan yang secara nggak langsung mengajari bahwa ketika lampu merah masih tersisa lebih dari lima detik udah boleh main klakson, bahkan banyak yang sudah langsung melajukan kendaraannya.
Dan barisan terdepan yang bisa jadi niatnya mau menunggu lampu jadi hijau, reflek langsung melaju biar nggak dimaki orang-orang di belakangnya yang udah mengklakson. 
Biarlah. Aku nggak mau jalan kalau lampu belum hijau.

Ada lampu merah baru di GKB juga bikin macet. Kendaraan bisa berbaris sangat panjang di jam-jam padat. Ini baru hari biasa, gimana kalau bulan puasa?

Ah, biarlah.
Biarlah. Rumahku jadi kerasa makin jauh yang penting perjalananku aman.
Biarlah. Aku akan berangkat lebih awal kalau ada urusan biar nggak telat.
Biarlah. Macetku di sini nggak sebanding dengan macetnya kota metropolitan di sana.
Ya, biarlah. Biar aku di rumah saja kalau males kena macet.

Kamis, 08 Desember 2016

Semangat

Seharum aroma vanila di gelas kaca yang menggugah pagi itu.
Sebising pemandangan di jalanan kota pukul enam tiga puluh.
Seterik sang surya menyambut dering bel pulang sekolah.
Bisakah ku lukiskan semangatku bagai salah satunya? 
- dari Prima, kepada diskon akhir tahun -

Jumat, 02 Desember 2016

Ketika hujan turun..

Source: www.google.com

Malam itu aku dan mbak fia sama-sama menambah gizi. Bukan istilah perbaikan gizi ala anak kos, karena gizi kami sudah terlalu baik sampai jadi frustasi. Gagal diet justru bagai motivasi untuk tetap makan, makan dan makan. 
Maka jadilah kami boncengan di sekitar jalanan GKB (Gresik Kota Baru) malam-malam lewat pukul tujuh, waktu yang harusnya dimusuhi oleh gadis-gadis untuk makan malam. Niatku cuma ngemil aja sebenarnya (tapi camilan versiku mungkin terlalu berat, bukan menu cantik semacam salad-saladan).
Sampai akhirnya kami menjatuhkan pilihan di mie aceh Kedai Ajay, yang ternyata menunya makanan berat semua. Padahal dulu ada menu camilan lho, semacam roti canai dan martabak. Ada apa dg buku menu ini? 😢

Skip.
Makan selesai. Kami memutuskan untuk pulang ke rumah sebelum makin larut.
Tiba-tiba di tengah perjalanan hujan turun. Terjadilah dialog ala sinetron di antara kami.
Mbak Fia : "Diks, kakak kedinginan"
Aku : "Nggak papa, Kak. I love the rain. Adik suka hujan." (Padahal gigi atas-bawah udah saling berbenturan menahan dingin)
Mbak Fia : "Endel, I love the rain. Nanti Kakak atit. Besok kakak kerja."
Aku : "Enggak kak, enak dingin-dingin nanti tidurnya jadi nyenyak."
Mbak Fia : "Duwingin diks.. hhrrr" (menahan dingin)

Sampai di rumah..
Bapak : "Darimana rek? Wah wah.."
Mbak Fia : "Cari makan, pak. Prima lho pak kesenengen hujan-hujan, uwadem padahal." (Kembali ke dialog normal)

Padahal aku sudah masuk ke dalam rumah, buru-buru mengganti pakaian basahku.

Begitulah,
Kadang menurut kita waktunya tepat, tapi bagi orang lain itu malah mengganggu.

Kadang apa yang kita mau, belum tentu jadi harapan orang lain juga.

Kadang apa yang kita sukai, belum tentu orang lain juga suka. 
Sama kayak makanan, apakah hujan juga urusan selera?