Rabu, 11 Juni 2014

Ibu



Aku jarang buka facebook. Tapi beberapa hari yang lalu aku share status dari FP Tere Liye, yang isinya:
" doa ibu tidak ternilai harganya... boleh jadi doa itu telah membuka kunci2 kesempatan. menjauhkan bala dan marabahaya, menyingkirkan hambatan, atau mengangkat beban di pundak kita.doa seorang ibu tdk ternilai harganya..."

Tak lama kemudian, ada komentar pada status tere liye yang baru aku share, komentar dari orang yang nggak aku kenal sama sekali. Seorang yang murni baru aku tau dari dunia maya, dan baru aku tau detik itu, mungkin ini kategori teman pas aku baru-baru bikin facebook dan aku mengakui keteledoranku meng-konfirm secara asal-asalan. Dulu.
Mungkin itu nggak penting, sejak kapan dia menjadi teman facebookku. Yang terpenting adalah komentarnya. Begini:
Ibu yang bagaimana??? 
Dan ibu yang rela meninggalkan anaknya demi 
keegoisanya ,itu ibu yang gimana????

Aku pengen hapus komentar itu pada awalnya, dan pada akhirnya aku mengurungkan niat itu, dia punya hak untuk berpendapat. Tapi aku merasa tanda tanya dalam kalimatnya bukan menunjukkan pertanyaan, itu seperti sebuah penilaian. Lantas aku harus menjawab apa? Ibu yang bagaimana? Memangnya statusku dikhususkan untuk ibu-ibu tertentu? Memangnya ada berapa jenis ibu? 
Faktanya aku enggan membalas komentar itu, jika aku membuat pembelaan pasti dia menyikapinya tidak dengan kepala dingin. Dan ini malah akan memperkeruh keadaan. Terlebih aku nggak tau bagaimana kondisinya.

Aku jadi ingat, hari sebelum aku share status Tere Liye, aku membaca sebuah novel. Tapi ini sama sekali tak ada hubungannya dengan status yang aku share. Justru membaca komentar orang tersebut membuat aku teringat dengan novel yang baru selesai aku baca. Yang mana salah satu tokohnya sangat membenci Ibunya. Ibu itu menjual anaknya ke orang kaya lalu sang Ibu pergi ke Las Vegas untuk berfoya-foya. Tapi ini novel. Seorang penulis bebas mengikuti imajinasinya. Aku rasa tidak ada Ibu yang sekejam itu.

Beberapa hari sebelum aku membaca novel itu, aku menemui kasus yang serupa dimana seorang anak sangat marah pada ibunya. Juga di facebook. Kali ini, masih orang yang tak aku kenal di dunia nyata. Sebut saja namanya "Budi" (dari sekian banyak nama kenapa ini yang terlintas?). Statusnya muncul di beranda. Awalnya aku mengira kata-kata dalam statusnya mengutip salah satu dialog yang dikatakan Radit dalam film Radit&Jani. Tapi aku yang memang lagi kepo, membuka profil facebooknya dan menemukan wall dari seseorang yang menyuruh Budi pulang karena kakeknya meninggal. Budi mengomentari wall itu dan hanya menjawab singkat "Gak". Jawaban ini membuatku mengerutkan kening. Ternyata setelah aku baca intinya: Budi kecewa dengan keluarganya yang tak merestui Budi menikah dengan istrinya. Aku langsung penasaran dengan istrinya dan ternyata facebook itu full dengan foto Budi bersama seorang wanita dengan rambut lurus berwarna merah, setiap fotonya memakai baju tanpa lengan dengan rok atau celana pendek yang super minim, bahkan dia bersedia difoto dalam kondisi apapun dan di upload ke facebook. Aku langsung menebak kalau ini istri Budi. Oke, aku nggak boleh menilai seseorang dari penampilannya.
Tapi Si pengirim wall mengatakan bahwa seluruh keluarga besar sudah menerima dan tiap hari Ibu si Budi menangis merindukan Budi. Pengen tau kabar Budi dan meminta Budi untuk pulang. Budi masih keras kepala, dia bilang dia tidak butuh siapa-siapa, dia telah sepakat dengan istrinya bahwa dia akan menjalani hidup ini berdua karena dia sangat mencintai istrinya(?) Si pengirim wall sudah mengingatkan bahwa ridho Allah ada pada ridho orang tua. Tapi Budi tetap berlalu, tak peduli.
Entah kenapa membaca itu semua aku langsung teringat sinema televisi  indosiar, diiringi dengan backsound lagu religi.

Namun aku menarik kesimpulan, semua orang tua pasti ingin yang terbaik untuk anaknya. Bahkan saat ini orang tua Budi sudah bisa menerima hubungan Budi. Lalu kenapa Budi nggak pulang (?)
Mungkin kali ini aku harus mencari contoh lain yang lebih baik, yaah meskipun dari sinetron. Kadang memang kita menganggap sinetron sangat lebay, yang mana Ibu memiliki ikatan batin sangat kuat dengan anaknya meskipun sebelumnya terpisah lama dan awalnya tidak saling mengenali(cerita anak yang terpisah, entah itu diculik, hilang, dsb.). Itu cerita yang biasa kita tonton di televisi. Tapi seorang penulis skenario juga bebas menulis apa yang ada di imajinasinya kan? Meskipun kadang aku jadi bertanya-tanya, apakah aku memiliki ikatan batin yang kuat dengan ibuku? *korban sinetron.
Tapi aku merasa justru kisah dalam sinetron itu yang lebih sesuai dengan realita hidup kita, bahwa seorang ibu memiliki rasa yang peka dan mengasihi anaknya.

Bahkan sama halnya dengan seorang Ibu yang dalam cerita berperan sebagai tokoh antagonis, sejahat-jahatnya dia, dia sangat membela anaknya dan mengusahakan yang terbaik untuk sang anak. Sebut saja cerita Bawang Merah dan ibunya. Atau Ibu tiri cinderella dengan saudara tiri cinderella. Terlihat kan bahwa seorang ibu sebisa mungkin membahagiakan anaknya apapun usahanya?
Ibu pasti selalu mengingat anaknya. Dalam setiap sujudnya pasti terselip rangkaian doa indah untuk sang anak. Aku jadi ingat beberapa hari yang lalu aku mengirim sms untuk Ibuku meminta doa. Ibu langsung membalas "Iya prim doaku selalu untukmu, hati2 n jaga kesehatan, makan teratur"

Mungkin orang yang mengirim komentar di status yang aku share dari status Tere Liye itu punya kenangan buruk. Tetapi seburuk apapun kenangannya, aku yakin tak ada ibu yang buruk.
Ibu pasti punya alasan, dan baginya alasan itu juga demi kebaikan kita. Jadi apa salahnya berhenti berpikiran negatif pada orang yang memberi kita kesempatan menghirup udara di bumi ini?