Kamis, 27 Februari 2014

SABAR ?!! (۳ ˚Д˚)۳

Aku mengenal kata empati sejak pelajaran PPKN diberikan di bangku kelas 1 SD.
Aku mengenal beragam sikap positif, juga sebaliknya yang negatif. Mulai dari sikap bahwa kepada yang lebih muda harus menyayangi dan kepada yang lebih tua harus menghormati, apa itu tenggang rasa, apa itu tolong-menolong, apa itu disiplin, dan masih banyak sikap positif yang lain. Aku ingat betul ketika berusaha menjawab semaksimal mungkin setiap pertanyaan dalam soal-soal ulangan mata pelajaran PPKN.
Aku tau, itu bukan hanya pertanyaan yang diujikan. Guru pengajar bermaksud menanamkan nilai-nilai moral yang nantinya akan kita terapkan dalam kehidupan bermasyarakat.
Kali ini aku ingin absen dan membuat pengecualian kepada tukang parkir liar. Tidak semua. Hanya pada Pak Tua yang nongkrongnya di depan toko alat tulis, di sebelah abang penjual gorengan. Di sekitar Dharmawangsa. Hanya pada Pak Tua itu.
Di wilayah situ memang banyak tukang parkir, termasuk tukang parkir yang biasanya memandu dan menjaga parkir mobil ketika Ayahku mengantar ke kos. Bahkan Ayahku bisa akrab dengan dia. Menurutku, meskipun dia bukan tukang parkir yang resmi, tapi dia bisa menjalankan perannya sebagai tukang parkir.
Sedangkan Pak Tua itu? Ya Allah, Pak Tua yang umurnya aku tebak sekitar 50an itu, dia bikin emosi setengah mati!
Oke, mari flashback ke cerita di pagi hari tadi. Aku sama mbak fia baru saja ke bank mandiri di pintu samping Unair. Pas pulang, kebetulan searah dengan jalan pulang ke kos ada abang penjual gorengan di pinggir jalan. Kita berhenti dan beli. Mbak fia bilang dia nggak usah turun dari sepeda. Toh, kita cuma beli gorengan sebentar, tepat di depan kita pula. Akhirnya aku yang turun dan beli. Aku yakin, pasti banyak orang yang berpikir: "daripada bayar parkir, sementara yang dibeli nggak seberapa, mending nunggu di sepeda". Kita juga demikian. Tapi Pak Tua itu menghampiri sepeda motor mbak fia yang ada di sebelahku, saat aku sibuk membeli. Minta dibayar. Hah? Ini aku belinya juga masih belum selesai. Seenaknya aja minta dibayar. Aku baru kali ini menjumpai tukang parkir liar yang kurang tau diri, biasanya mereka akan sungkan meminta bayaran ketika si pemilik sepeda nggak turun dari sepeda. Karena tugas mereka kan cuma nungguin sepeda, nah, kalau si pemilik sepeda sudah  nungguin sendiri sepedanya kok masih minta dibayar? Kerjaan mereka cuma nunggu dibayar ketika pemilik sepeda kembali ke sepeda, mereka datang, setelah dibayar mereka langsung pergi begitu saja tanpa memberi panduan dan bantuan. Dan Pak Tua ini justru lebih parah lagi, pemilik sepeda belum selesai urusannya, dia sudah minta dibayar.
Toh, selama ini kalau ada kehilangan benda atau apa, itu bukan menjadi tanggung jawab tukang parkir. Bahkan parkir legal dengan karcis juga ada tulisan kehilangan bukan menjadi tanggung jawab mereka. Kalau tukang parkir liar? Mereka kan asal mematok tempat! Menganggap itu wilayah mereka, daerah kekuasaan mereka.
Lanjut ke cerita, setelah Pak Tua itu menagih bayaran yang bukan haknya, mbak fia sempat berkelit, lah wong cuma beli gorengan sebentar, tepat di depan gerobak gorengan pula. Pak Tua masih ngotot. Mbak fia langsung bilang ke aku kalau dia balik ke kos duluan. Aku langsung paham. Itu kode, karena mbak fia cuma belok ke gang sebelah dan nungguin aku di situ. Tapi bagaimana  dengan Pak Tua itu?
Dia malah ngikutin dan balik ke aku yang saat itu sudah selesai membeli. Dan aku kaget ketika ditodong begitu saja "sewu mbak", pdhl jelas-jelas aku lagi jalan kok bayar parkir (?)
lah kan mbak fia udah nggak parkir di depan penjual gorengan. Dia parkir masuk di gang sebelah, di depan rumah orang dan bukan jalan besar. Masih ditagih juga! Aku langsung kesal, melupakan begitu saja pelajaran PPKN di detik itu dan menjawab dengan seketus mungkin "nggak pak!" Dan ngeloyor begitu saja ke mbak fia yang masih di sepeda.
Aku kira sudah berakhir di situ. Aku naik ke sepeda. Aku kaget ketika Pak Tua itu sudah di sebelah kami. "Mbayar mbak". Aku dan mbak fia masih bersikeras nggak mau bayar. Toh, di depan kami juga banyak bapak-bapak yang duduk di sepeda menunggu anaknya pulang sekolah, karena di seberang rumah itu ada SD. Apa Pak Tua ini juga akan menagih bapak-bapak di situ? Jelas nggak mungkin! Melihat kami yang masih menolak membayar, Pak Tua itu terlihat memasang raut marah. Tapi aku nggak takut sedikit pun. Dia terlihat mengepalkan tangan, tapi urung karena di situ banyak orang. Kalau dia berani main tangan, aku bersumpah akan langsung menendang Pak Tua itu. Nggak peduli berapapun umurnya. Sikapnya menunjukkan bahwa ia nggak patut di hormati. Apa begini caranya mencari rejeki? Apa bedanya dengan rampok yang menodong minta uang? Atau apa bedanya dengan pengemis yang datang menghampiri? Apa itu juga disebut profesi? Apa bedanya dengan pemerasan?
Rangkaian peristiwa itu berjalan cepat, kurang lebih cuma 5 menit. Tapi terlalu membuat kesal. Dan aku berjanji nggak akan pernah memberikan uang parkir sedikitpun pada Pak Tua itu, mending aku jalan kaki kalau mau ke situ. Bukan masalah nilai mata uang, tapi masalah sikap.

Aku jadi ingat, dulu guru lesku pernah bercerita. Beliau nggak pernah sedikitpun memberi uang pada tukang parkir liar. Dia takut dosa, karena itu bukan hak dari si tukang parkir. Dan kelak, kita juga akan dimintai pertanggungjawaban. Kemana perginya uang parkir liar jelas hanya di kantong si tukang parkir. Aku selalu berpikir, nggak masalah kalau toh uangnya masuk ke kantong si tukang parkir (kalau urusan kita lebih penting dari sekedar beli gorengan 2000rupiah),  anggep aja beramal. Untuk urusan sepele pun nggak masalah, jika tukang parkir liar itu cukup bertanggung jawab nggak sekedar menunggu dibayar, misalnya memandu membantu menyebrang, aku akan dengan senang hati membayar, karena dia sudah membantu dan itu haknya untuk mendapat bayaran.
Tapi, pengecualian untuk tukang parkir yang bersikap seperti Pak Tua itu. Tubuhnya masih kuat, perawakannya tinggi tegap. Mungkin hanya berjarak dua atau tiga tahun lebih tua dari ayahku. Tapi rasa empati pada Pak Tua itu langsung lenyap, sama sekali nggak berbekas. Teori-teori PPKN yang aku pelajari sejak di bangku SD juga langsung terlupakan begitu saja.

Mengingat tukang parkir liar, aku jadi berpikir, apakah di luar negeri sana juga ada tukang parkir?