Aku mengenal kata empati
sejak pelajaran PPKN diberikan di bangku kelas 1 SD.
Aku mengenal beragam sikap
positif, juga sebaliknya yang negatif. Mulai dari sikap bahwa kepada yang lebih
muda harus menyayangi dan kepada yang lebih tua harus menghormati, apa itu
tenggang rasa, apa itu tolong-menolong, apa itu disiplin, dan masih banyak
sikap positif yang lain. Aku ingat betul ketika berusaha menjawab semaksimal
mungkin setiap pertanyaan dalam soal-soal ulangan mata pelajaran PPKN.
Aku tau, itu bukan hanya pertanyaan
yang diujikan. Guru pengajar bermaksud menanamkan nilai-nilai moral yang
nantinya akan kita terapkan dalam kehidupan bermasyarakat.
Kali ini aku ingin absen dan
membuat pengecualian kepada tukang parkir liar. Tidak semua. Hanya pada Pak Tua
yang nongkrongnya di depan toko alat tulis, di sebelah abang penjual gorengan.
Di sekitar Dharmawangsa. Hanya pada Pak Tua itu.
Di wilayah situ memang banyak
tukang parkir, termasuk tukang parkir yang biasanya memandu dan menjaga parkir
mobil ketika Ayahku mengantar ke kos. Bahkan Ayahku bisa akrab dengan dia.
Menurutku, meskipun dia bukan tukang parkir yang resmi, tapi dia bisa
menjalankan perannya sebagai tukang parkir.
Sedangkan Pak Tua itu? Ya
Allah, Pak Tua yang umurnya aku tebak sekitar 50an itu, dia bikin emosi
setengah mati!
Oke, mari flashback ke cerita
di pagi hari tadi. Aku sama mbak fia baru saja ke bank mandiri di pintu samping
Unair. Pas pulang, kebetulan searah dengan jalan pulang ke kos ada abang
penjual gorengan di pinggir jalan. Kita berhenti dan beli. Mbak fia bilang dia
nggak usah turun dari sepeda. Toh, kita cuma beli gorengan sebentar, tepat di
depan kita pula. Akhirnya aku yang turun dan beli. Aku yakin, pasti banyak
orang yang berpikir: "daripada bayar parkir, sementara yang dibeli nggak seberapa, mending nunggu di sepeda".
Kita juga demikian. Tapi Pak Tua itu menghampiri sepeda motor mbak fia yang ada
di sebelahku, saat aku sibuk membeli. Minta dibayar. Hah? Ini aku belinya juga
masih belum selesai. Seenaknya aja minta dibayar. Aku baru kali ini menjumpai
tukang parkir liar yang kurang tau diri, biasanya mereka akan sungkan meminta
bayaran ketika si pemilik sepeda nggak turun dari sepeda. Karena tugas mereka
kan cuma nungguin sepeda, nah, kalau si pemilik sepeda sudah nungguin sendiri sepedanya kok masih minta
dibayar? Kerjaan mereka cuma nunggu dibayar ketika pemilik sepeda kembali ke
sepeda, mereka datang, setelah dibayar mereka langsung pergi begitu saja tanpa
memberi panduan dan bantuan. Dan Pak Tua ini justru lebih parah lagi, pemilik
sepeda belum selesai urusannya, dia sudah minta dibayar.
Toh, selama ini kalau ada
kehilangan benda atau apa, itu bukan menjadi tanggung jawab tukang parkir.
Bahkan parkir legal dengan karcis juga ada tulisan kehilangan bukan menjadi
tanggung jawab mereka. Kalau tukang parkir liar? Mereka kan
asal mematok tempat! Menganggap itu wilayah mereka, daerah kekuasaan mereka.
Lanjut ke cerita, setelah Pak
Tua itu menagih bayaran yang bukan haknya, mbak fia sempat berkelit, lah wong
cuma beli gorengan sebentar, tepat di depan gerobak gorengan pula. Pak Tua masih ngotot. Mbak fia langsung bilang ke
aku kalau dia balik ke kos duluan. Aku langsung paham. Itu kode, karena mbak
fia cuma belok ke gang sebelah dan nungguin aku di situ. Tapi bagaimana dengan Pak Tua itu?
Dia malah ngikutin dan balik
ke aku yang saat itu sudah selesai membeli. Dan aku kaget ketika ditodong
begitu saja "sewu mbak", pdhl jelas-jelas aku lagi jalan kok bayar parkir (?)
lah kan mbak fia udah nggak parkir di
depan penjual gorengan. Dia parkir masuk di gang sebelah, di depan rumah orang dan bukan jalan besar. Masih
ditagih juga! Aku langsung kesal, melupakan begitu saja pelajaran PPKN di detik
itu dan menjawab dengan seketus mungkin "nggak pak!" Dan ngeloyor
begitu saja ke mbak fia yang masih di sepeda.
Aku kira sudah berakhir di
situ. Aku naik ke sepeda. Aku kaget ketika Pak Tua itu sudah di sebelah kami.
"Mbayar mbak". Aku dan mbak fia masih bersikeras nggak mau bayar.
Toh, di depan kami juga banyak bapak-bapak yang duduk di sepeda menunggu
anaknya pulang sekolah, karena di seberang rumah itu ada SD. Apa Pak Tua ini
juga akan menagih bapak-bapak di situ? Jelas nggak mungkin! Melihat kami yang
masih menolak membayar, Pak Tua itu terlihat memasang raut marah. Tapi aku
nggak takut sedikit pun. Dia terlihat mengepalkan tangan, tapi urung karena di
situ banyak orang. Kalau dia berani main tangan, aku bersumpah akan langsung
menendang Pak Tua itu. Nggak peduli berapapun umurnya. Sikapnya menunjukkan
bahwa ia nggak patut di hormati. Apa begini caranya mencari rejeki? Apa bedanya
dengan rampok yang menodong minta uang? Atau apa bedanya dengan pengemis yang
datang menghampiri? Apa itu juga disebut profesi? Apa bedanya dengan pemerasan?
Rangkaian peristiwa itu
berjalan cepat, kurang lebih cuma 5 menit. Tapi terlalu membuat kesal. Dan aku
berjanji nggak akan pernah memberikan uang parkir sedikitpun pada Pak Tua itu,
mending aku jalan kaki kalau mau ke situ. Bukan masalah nilai mata uang, tapi
masalah sikap.
Aku jadi ingat, dulu guru
lesku pernah bercerita. Beliau nggak pernah sedikitpun memberi uang pada tukang
parkir liar. Dia takut dosa, karena itu bukan hak dari si tukang parkir. Dan
kelak, kita juga akan dimintai pertanggungjawaban. Kemana perginya uang parkir
liar jelas hanya di kantong si tukang parkir. Aku selalu berpikir, nggak
masalah kalau toh uangnya masuk ke kantong si tukang parkir (kalau urusan kita
lebih penting dari sekedar beli gorengan 2000rupiah), anggep aja beramal. Untuk urusan sepele pun
nggak masalah, jika tukang parkir liar itu cukup bertanggung jawab nggak
sekedar menunggu dibayar, misalnya memandu membantu menyebrang, aku akan dengan
senang hati membayar, karena dia sudah membantu dan itu haknya untuk mendapat
bayaran.
Tapi, pengecualian untuk
tukang parkir yang bersikap seperti Pak Tua itu. Tubuhnya masih kuat, perawakannya tinggi tegap. Mungkin
hanya berjarak dua atau tiga tahun lebih tua dari ayahku. Tapi rasa empati pada Pak Tua
itu langsung lenyap, sama sekali nggak berbekas. Teori-teori PPKN yang aku
pelajari sejak di bangku SD juga langsung terlupakan begitu saja.
Mengingat tukang parkir liar,
aku jadi berpikir, apakah di luar negeri sana juga ada tukang parkir?